Powered By Blogger

Sabtu, 16 April 2011

8 ciri-ciri kehidupan seks


HUBUNGAN seks secara rutin, setiap dua hari, atau seminggu tiga kali
adalah kegiatan yang menyenangkan dan membahagiakan. Apa yg anda pikirkan bila mendengar hal ini?

Mungkin ada yg meragukan hal ini dan balik bertanya, bagaimana caranya.? Bila anda ini berusaha meniru kebiasaan baik ini dengan kehidupan seks yg memuaskan tentu punya andil dalam kehidupan pernikahan yg bahagia
anda perlu mencari tahu, bagai mana pasangan lain berhasil mewujudkan kehidupan seks yg memuaskan.
  • 1. Mereka tidak membuat banyak alasan yg di lontarkan pasangan untuk menghindari seks, seperti kelelahan, lagi gak mOOd, stres, atau harus menemani anak tidur. Bila ini yg terjadi, pikirkan sebalikya: banyak alasan yang kita buat untuk rutin berhubungan seks.
  • 2. Mereka menjadwalkan seks
    dengan menjadwalkan seks, anda bisa menepis semua alasan yg biasa di gunakan untuk menghindari aktivitar sekr. "unutk pasangan lama menikah, merencanakan selingan romantis akan menghasilkan pengalaman seksual yg lebih berkualitas dan menyenangkan.
  • 3. Mengunci kamar tidur
    Mengunci kamar tidur bukan sekedar agar si kecil tidak mendadak masuk saat anda da pasangan anda sedang "sibuk" Dr Zdrok wilson mengatakan, kamar yg terkunci harus di lakukan karena pasangan harus mengusahakan kondisi optimal untuk sesi bercinta hebat
  • 4. Menguasai Quickie sex
    pasangan yg ingin terus menghidupkan kehidupan seksual.nya umum.nya telah sepakat bahwa quickie sex pun tetap berarti. Jika dulu anda menghindari seks liat karena butuh waktu untuk tubuh siap untuk melakukanya, kini pikirkan kekuatan koneksi tubuh dan pikiran
  • 5. Gemar berexsperimen
    jangan bosan untuk mengexspresikan diri secara beda. Seimbangkan antara pilihan gaya konvensional dan yg adventurous karena itu berexsperimen dan dapat di artikan sebagai posisi, sampai keseluruhan sikap anda yg anda terapkan untuk membangkitkan ke intiman.
  • 6. Selalu berkomunikasi
    Selalu berkomunikasi tentu makanya untuk sealalu mengetahui apa yg dipikirkan dan dirasakan oleh pasangan. Sebelum menikah, berepakatlah bahwa anda berdua akan selalu membicarakan apapun yg apa yg ada di pikiran anda
  • 7. Saling mempercayai
    seks yg hebat adalah refleksi dari seluruh komunikasi dan hubungan yg anda miliki bersama pasangan. Anda harus saling berusaha untuk membangun dan mendukung. Bila anda telah atau melakukan sesuatu yg menyakiti hati pasangan ia jadi enggan untuk membuka diri saat berada di kamar.
  • 8. Peduli dengan penampilan dan kesehatan diri.
    Hanya karena anda sudah menikah dan punya anak, tidak berarti anda hanya pasrah mengenakan daster saat di rumah, tiru perempuan lain yg rajin merawat diri, agar suami betah bersamanya. Suamipun harus.Nya melakukan hal yg sama.

    Demikin 8 ciri-cirinya tersebut, semoga bermanfa.at bagi anda semua,
  • Jumat, 15 April 2011

    ciri-ciri penduduk SURGA

    Segala puji bagi Allah yang telah
    menciptakan surga bagi hamba-
    hamba yang beriman dan
    menciptakan neraka bagi orang-
    orang kafir. Salawat dan salam
    semoga terlimpah kepada nabi dan rasul akhir zaman, para
    sahabatnya, dan segenap
    pengikut setia mereka. Amma
    ba’du. Berikut ini adalah sebagian ciri-
    ciri dan karakter orang-orang
    yang dijanjikan oleh Allah
    mendapatkan surga beserta
    segala kenikmatan yang ada di
    dalamnya, yang sama sekali belum pernah terlihat oleh mata,
    belum terdengar oleh telinga,
    dan belum terlintas dalam benak
    manusia. Semoga Allah
    menjadikan kita termasuk di
    antara penduduk surga-Nya. 1. Beriman dan beramal
    salih Allah ta’ala berfirman, “Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang
    beriman dan beramal salih
    bahwasanya mereka akan
    mendapatkan balasan berupa
    surga yang di bawahnya mengalir
    sungai-sungai…” (Qs. al-Baqarah: 25) Ibnu Abi Zaid al-Qairawani
    rahimahullah mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan
    amal dengan anggota badan. Ia
    bertambah dengan
    bertambahnya amalan dan
    berkurang dengan berkurangnya
    amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia
    juga merupakan penyebab
    pertambahan -iman-. Tidak
    sempurna ucapan iman apabila
    tidak disertai dengan amal.
    Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi
    oleh niat -yang benar-.
    Sementara ucapan, amal, dan
    niat pun tidak sempurna kecuali
    apabila sesuai dengan as-
    Sunnah/tuntunan.” (Qathfu al- Jani ad-Dani karya Syaikh Abdul
    Muhsin al-Abbad, hal. 47) al-Baghawi rahimahullah
    menyebutkan riwayat dari
    Utsman bin Affan
    radhiyallahu’anhu bahwa yang dimaksud amal salih adalah
    mengikhlaskan amal. Maksudnya
    adalah bersih dari riya’. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Amal salih adalah yang di dalamnya terdapat
    empat unsur: ilmu, niat yang
    benar, sabar, dan
    ikhlas.” (Ma’alim at-Tanzil [1/73] as-Syamilah) 2. Bertakwa Allah ta’ala berfirman, “Bagi orang-orang yang bertakwa terdapat balasan di
    sisi Rabb mereka berupa surga-
    surga yang di bawahnya mengalir
    sungai-sungai, mereka kekal di
    dalamnya, begitu pula mereka
    akan mendapatkan istri-istri yang suci serta keridhaan dari
    Allah. Allah Maha melihat hamba-
    hamba-Nya.” (Qs. Ali Imran: 15) Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
    menguraikan jati diri orang
    bertakwa. Mereka itu adalah
    orang-orang yang bertakwa
    kepada Rabb mereka. Mereka
    menjaga diri dari siksa-Nya dengan cara melakukan apa saja
    yang diperintahkan Allah kepada
    mereka dalam rangka menaati-
    Nya dan karena mengharapkan
    balasan/pahala dari-Nya. Selain
    itu, mereka meninggalkan apa saja yang dilarang oleh-Nya juga
    demi menaati-Nya serta karena
    khawatir akan tertimpa
    hukuman-Nya (Majalis Syahri
    Ramadhan, hal. 119 cet Dar
    al-’Aqidah 1423 H). Termasuk dalam cakupan takwa,
    yaitu dengan membenarkan
    berbagai berita yang datang dari
    Allah dan beribadah kepada Allah
    sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan tata cara yang
    diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah itu
    dituntut di setiap kondisi, di
    mana saja dan kapan saja. Maka
    hendaknya seorang insan selalu
    bertakwa kepada Allah, baik
    ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian atau
    ketika berada di tengah
    keramaian/di hadapan orang
    (lihat Fath al-Qawiy al-Matin
    karya Syaikh Abdul Muhsin
    al-’Abbad hafizhahullah, hal. 68 cet. Dar Ibnu ‘Affan 1424 H) an-Nawawi rahimahullah
    menjelaskan, salah satu faktor
    pendorong untuk bisa
    menumbuhkan ketakwaan
    kepada Allah adalah dengan
    senantiasa menghadirkan keyakinan bahwasanya Allah
    selalu mengawasi gerak-gerik
    hamba dalam segala keadaannya
    (Syarh al-Arba’in, yang dicetak dalam ad-Durrah as-Salafiyah,
    hal. 142 cet Markaz Fajr dan Ulin
    Nuha lil Intaj al-I’lami) Syaikh as-Sa’di rahimahullah memaparkan bahwa
    keberuntungan manusia itu
    sangat bergantung pada
    ketakwaannya. Oleh sebab itu
    Allah memerintahkan (yang
    artinya), “Bertakwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu
    beruntung. Dan jagalah dirimu
    dari api neraka yang disediakan
    bagi orang-orang kafir.” (Qs. Ali Imron: 130-131). Cara menjaga
    diri dari api neraka adalah
    dengan meninggalkan segala
    sesuatu yang menyebabkan
    terjerumus ke dalamnya, baik
    yang berupa kekafiran maupun kemaksiatan dengan berbagai
    macam tingkatannya. Karena
    sesungguhnya segala bentuk
    kemaksiatan -terutama yang
    tergolong dosa besar- akan
    menyeret kepada kekafiran, bahkan ia termasuk sifat-sifat
    kekafiran yang Allah telah
    menjanjikan akan menempatkan
    pelakunya di dalam neraka. Oleh
    sebab itu, meninggalkan
    kemaksiatan akan dapat menyelamatkan dari neraka dan
    melindunginya dari kemurkaan
    Allah al-Jabbar. Sebaliknya,
    berbagai perbuatan baik dan
    ketaatan akan menimbulkan
    keridhaan ar-Rahman, memasukkan ke dalam surga dan
    tercurahnya rahmat bagi mereka
    (Taisir al-Karim ar-Rahman
    [1/164] cet Jum’iyah Ihya’ at- Turots al-Islami) Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah
    mengimbuhkan, bahwa tercakup
    dalam ketakwaan -bahkan
    merupakan derajat ketakwaan
    yang tertinggi- adalah dengan
    melakukan berbagai perkara yang disunnahkan (mustahab)
    dan meninggalkan berbagai
    perkara yang makruh, tentu
    saja apabila yang wajib telah
    ditunaikan dan haram
    ditinggalkan (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-
    Hadits 1418 H) Ibnu Rajab rahimahullah
    menyebutkan riwayat dari
    Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Mu’adz ditanya tentang orang-orang
    yang bertakwa. Maka beliau
    menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari
    kemusyrikan, peribadahan
    kepada berhala, dan
    mengikhlaskan ibadah mereka
    hanya untuk Allah.” al-Hasan mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang
    yang menjauhi perkara-perkara
    yang diharamkan Allah kepada
    mereka dan menunaikan
    kewajiban yang diperintahkan
    kepada mereka.” Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga
    menegaskan bahwa ketakwaan
    bukanlah menyibukkan diri
    dengan perkara yang sunnah
    namun melalaikan yang wajib.
    Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di
    siang hari, sholat malam, dan
    menggabungkan antara
    keduanya. Akan tetapi hakikat
    ketakwaan kepada Allah adalah
    meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan
    melaksanakan segala yang
    diwajibkan Allah. Barang siapa
    yang setelah menunaikan hal itu
    dikaruni amal kebaikan maka itu
    adalah kebaikan di atas kebaikan.” Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan
    ketaatan kepada Allah di atas
    cahaya dari Allah karena
    mengharapkan pahala dari Allah,
    serta kamu meninggalkan
    kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut
    hukuman Allah.” (dinukil dari Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H) Pokok dan akar ketakwaan itu
    tertancap di dalam hati. Ibnul
    Qayyim rahimahullah berkata,
    “Pada hakikatnya ketakwaan yang sebenarnya itu adalah
    ketakwaan dari dalam hati,
    bukan semata-mata ketakwaan
    anggota tubuh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu dikarenakan barang
    siapa yang mengagungkan syi’ar- syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu semua muncul dari ketakwaan
    yang ada di dalam hati.” (Qs. al- Hajj: 32). Allah juga berfirman
    (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-
    daging dan darah-darah -hewan
    kurban itu-, akan tetapi yang
    akan sampai kepada Allah adalah
    ketakwaan dari kalian.” (Qs. al- Hajj: 37). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketakwaan itu sumbernya di sini.” Seraya beliau mengisyaratkan kepada
    dadanya (HR. Muslim dari Abu
    Hurairah radhiyallahu’anhu).” (al- Fawa’id, hal. 136 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H) Namun, perlu diingat bahwa hal
    itu bukan berarti kita boleh
    meremehkan amal-amal lahir,
    Ibnul Qayyim rahimahullah
    berkata, “Petunjuk yang paling sempurna adalah petunjuk
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, beliau
    adalah orang yang telah
    menunaikan kedua kewajiban itu
    -lahir maupun batin- dengan
    sebaik-baiknya. Meskipun beliau
    adalah orang yang memiliki kesempurnaan dan tekad serta
    keadaan yang begitu dekat
    dengan pertolongan Allah, namun
    beliau tetap saja menjadi orang
    yang senantiasa mengerjakan
    sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. Bahkan beliau
    juga rajin berpuasa, sampai-
    sampai dikatakan oleh orang
    bahwa beliau tidak berbuka.
    Beliau pun berjihad di jalan Allah.
    Beliau pun berinteraksi dengan para sahabatnya dan tidak
    menutup diri dari mereka. Beliau
    sama sekali tidak pernah
    meninggalkan amalan sunnah dan
    wirid-wirid di berbagai
    kesempatan yang seandainya orang-orang yang perkasa di
    antara manusia ini berupaya
    untuk melakukannya niscaya
    mereka tidak akan sanggup
    melakukan seperti yang beliau
    lakukan. Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-
    hamba-Nya untuk menunaikan
    syari’at-syari’at Islam dengan perilaku lahiriyah mereka,
    sebagaimana Allah juga
    memerintahkan mereka untuk
    mewujudkan hakikat-hakikat
    keimanan dengan batin mereka.
    Salah satu dari keduanya tidak akan diterima, kecuali apabila
    disertai dengan ‘teman’ dan pasangannya…” (al-Fawa’id, hal. 137 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H) 3. Taat kepada Allah dan
    Rasul-Nya Allah ta’ala berfirman, “Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah
    akan memasukkannya ke dalam
    surga-surga yang di bawahnya
    mengalir sungai-sungai, mereka
    kekal di dalamnya. Itulah
    kemenangan yang sangat besar.” (Qs. an-Nisa’: 13) Allah ta’ala berfirman tentang mereka, “Sesungguhnya ucapan orang- orang yang beriman itu ketika
    diseru untuk patuh kepada Allah
    dan rasul-Nya agar rasul itu
    memutuskan perkara di antara
    mereka maka jawaban mereka
    hanyalah, ‘Kami dengar dan kami taati’. Hanya mereka itulah orang-orang yang
    beruntung.” (Qs. an-Nur: 51) Allah ta’ala menyatakan, “Barang siapa taat kepada Rasul itu maka sesungguhnya dia telah
    taat kepada Allah.” (Qs. An- Nisaa’ : 80) Allah ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul,
    ketika menyeru kalian untuk
    sesuatu yang akan
    menghidupkan kalian. Ketahuilah,
    sesungguhnya Allah yang
    menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan
    sesungguhnya kalian akan
    dikumpulkan untuk bertemu
    dengan-Nya.” (Qs. al-Anfal: 24) Ketika menjelaskan kandungan
    pelajaran dari ayat ini, Ibnul
    Qayyim rahimahullah mengatakan,
    “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanyalah bisa
    digapai dengan memenuhi seruan
    Allah dan rasul-Nya. Barang siapa
    yang tidak muncul pada dirinya
    istijabah/sikap memenuhi dan
    mematuhi seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati
    padanya. Meskipun sebenarnya
    dia masih memiliki kehidupan ala
    binatang yang tidak ada
    bedanya antara dia dengan
    hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu
    kehidupan yang hakiki dan baik
    adalah kehidupan pada diri orang
    yang memenuhi seruan Allah dan
    rasul-Nya secara lahir dan batin.
    Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun
    tubuh mereka telah mati. Adapun
    selain mereka adalah orang-
    orang yang telah mati, meskipun
    badan mereka masih hidup. Oleh
    karena itulah maka orang yang paling sempurna kehidupannya
    adalah yang paling sempurna di
    antara mereka dalam memenuhi
    seruan dakwah Rasul shallallahu
    ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap
    ajaran yang beliau dakwahkan
    terkandung unsur kehidupan
    sejati. Barang siapa yang luput
    darinya sebagian darinya maka
    itu artinya dia telah kehilangan sebagian unsur kehidupan, dan di
    dalam dirinya mungkin masih
    terdapat kehidupan sekadar
    dengan besarnya istijabahnya
    terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-’Aqidah) 4. Cinta dan Benci karena
    Allah Allah ta’ala berfirman, “Tidak akan kamu jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah
    dan hari akhir berkasih sayang
    kepada orang-orang yang
    menentang Allah dan Rasul-Nya
    meskipun mereka itu adalah
    bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara
    mereka, maupun sanak keluarga
    mereka. Mereka itulah orang-
    orang yang ditetapkan Allah di
    dalam hati mereka dan Allah
    kuatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, Allah akan
    memasukkan mereka ke dalam
    surga-surga yang di bawahnya
    mengalir sungai-sungai, mereka
    kekal di dalamnya. Allah ridha
    kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah
    golongan Allah, ketahuilah
    sesungguhnya hanya golongan
    Allah itulah orang-orang yang
    beruntung.” (Qs. al-Mujadalah: 22) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mencintai karena Allah. Membenci karena
    Allah. Memberi karena Allah. Dan
    tidak memberi juga karena Allah.
    Maka sungguh dia telah
    menyempurnakan imannya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani
    dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [10/181] as-Syamilah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman
    salah seorang dari kalian sampai
    aku lebih dicintainya daripada
    orang tua dan anak-
    anaknya.” (HR. Bukhari) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ciri keimanan yaitu mencintai kaum Anshar, sedangkan ciri
    kemunafikan yaitu membenci
    kaum Anshar.” (HR. Bukhari) 5. Berinfak di kala senang
    maupun susah Allah ta’ala berfirman, “Bersegeralah menuju ampunan Rabb kalian dan surga yang
    luasnya seluas langit dan bumi
    yang disediakan bagi orang-
    orang yang bertakwa. Yaitu
    orang-orang yang menginfakkan
    hartanya di kala senang maupun di kala susah, orang-orang yang
    menahan amarah, yang suka
    memaafkan orang. Allah menyukai
    orang-orang yang berbuat baik.
    Dan orang-orang yang apabila
    melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri
    maka mereka pun segera
    mengingat Allah lalu meminta
    ampunan bagi dosa-dosa mereka,
    dan siapakah yang mampu
    mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka juga tidak terus
    menerus melakukan dosanya
    sementara mereka
    mengetahuinya.” (Qs. Ali Imron: 133-135) Membelanjakan harta di jalan
    Allah merupakan ciri orang-orang
    yang bertakwa. Allah ta’ala berfirman, “Alif lam mim. Ini adalah Kitab yang tidak ada keraguan
    padanya. Petunjuk bagi orang-
    orang yang bertakwa. Yaitu
    orang-orang yang beriman
    kepada perkara gaib, mendirikan
    sholat, dan membelanjakan sebagian harta yang Kami
    berikan kepada mereka.” (Qs. al- Baqarah: 1-3) Syaikh as-Sa’di memaparkan, infak yang dimaksud dalam ayat
    di atas mencakup berbagai infak
    yang hukumnya wajib seperti
    zakat, nafkah untuk istri dan
    kerabat, budak, dan lain
    sebagainya. Demikian juga ia meliputi infak yang hukumnya
    sunnah melalui berbagai jalan
    kebaikan. Di dalam ayat di atas
    Allah menggunakan kata min
    yang menunjukkan makna
    sebagian, demi menegaskan bahwa yang dituntut oleh Allah
    hanyalah sebagian kecil dari
    harta mereka, tidak akan
    menyulitkan dan memberatkan
    bagi mereka. Bahkan dengan
    infak itu mereka sendiri akan bisa memetik manfaat, demikian
    pula saudara-saudara mereka
    yang lain. Di dalam ayat tersebut
    Allah juga mengingatkan bahwa
    harta yang mereka miliki
    merupakan rezki yang dikaruniakan oleh Allah, bukan
    hasil dari kekuatan mereka
    semata. Oleh sebab itu Allah
    memerintahkan mereka untuk
    mensyukurinya dengan cara
    mengeluarkan sebagian kenikmatan yang diberikan Allah
    kepada mereka dan untuk
    berbagi rasa dengan saudara-
    saudara mereka yang lain (lihat
    Taisir al-Karim ar-Rahman [1/30]
    cet. Jum’iyah Ihya’ at-Turots al- Islami) 6. Memiliki hati yang
    selamat Allah ta’ala berfirman, “Pada hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat lagi harta dan
    keturunan, melainkan bagi orang
    yang menghadap Allah dengan
    hati yang selamat.” (Qs. as- Syu’ara: 88-89) Abu Utsman an-Naisaburi
    rahimahullah mengatakan
    tentang hakikat hati yang
    selamat, “Yaitu hati yang terbebas dari bid’ah dan tenteram dengan
    Sunnah.” (disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya [6/48] cet
    Maktabah Taufiqiyah) Imam al-Baghawi rahimahullah
    mengatakan bahwa hakikat hati
    yang selamat itu adalah, “Hati yang bersih dari syirik dan
    keragu-raguan. Adapun dosa,
    maka tidak ada seorang pun
    yang bisa terbebas darinya. Ini
    adalah pendapat mayoritas ahli
    tafsir.” (Ma’alim at-Tanzil [6/119], lihat juga Tafsir Ibnu Jarir at-
    Thabari [19/366] as-Syamilah) Imam al-Alusi rahimahullah juga
    menyebutkan bahwa terdapat
    riwayat dari para ulama salaf
    seperti Ibnu Abbas, Mujahid,
    Qatadah, Ibnu Sirin, dan lain-lain
    yang menafsirkan bahwa yang dimaksud hati yang selamat
    adalah, “Hati yang selamat dari penyakit kekafiran dan
    kemunafikan.” (Ruh al-Ma’ani [14/260] as-Syamilah) Ibnul Qayyim rahimahullah
    mengatakan, “Pengertian paling lengkap tentang makna hati
    yang selamat itu adalah hati
    yang terselamatkan dari segala
    syahwat yang menyelisihi
    perintah Allah dan larangan-Nya.
    Hati yang bersih dari segala macam syubhat yang
    bertentangan dengan berita
    dari-Nya. Oleh sebab itu, hati
    semacam ini akan terbebas dari
    penghambaan kepada selain-Nya.
    Dan ia akan terbebas dari tekanan untuk berhukum kepada
    selain Rasul-Nya…” (Ighatsat al- Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah) Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati yang selamat artinya yang bersih dari:
    kesyirikan, keragu-raguan,
    mencintai keburukan, dan terus
    menerus dalam bid’ah dan dosa- dosa. Konsekuensi bersihnya hati
    itu dari apa-apa yang disebutkan
    tadi adalah ia memiliki sifat-sifat
    yang berlawanan dengannya.
    Berupa keikhlasan, ilmu,
    keyakinan, cinta kebaikan dan memandang indah kebaikan itu di
    dalam hati, dan juga kehendak
    dan kecintaannya pun mengikuti
    kecintaan Allah, hawa nafsunya
    tunduk mengikuti apa yang
    datang dari Allah.” (Taisir al- Karim ar-Rahman hal. 592-593
    cet. Mu’assasah ar-Risalah) Ibnul Qayyim rahimahullah juga
    menjelaskan karakter si pemilik
    hati yang selamat itu, “… apabila dia mencintai maka cintanya
    karena Allah. Apabila dia
    membenci maka bencinya karena
    Allah. Apabila dia memberi maka
    juga karena Allah. Apabila dia
    mencegah/tidak memberi maka itupun karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar
    Thaibah) Demikianlah sekelumit yang bisa
    kami tuangkan dalam lembaran
    ini. Semoga bermanfaat bagi
    yang menulis, membaca maupun
    yang menyebarkannya. Wa
    shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil
    ‘alamin.