Powered By Blogger

Jumat, 15 April 2011

ciri-ciri penduduk SURGA

Segala puji bagi Allah yang telah
menciptakan surga bagi hamba-
hamba yang beriman dan
menciptakan neraka bagi orang-
orang kafir. Salawat dan salam
semoga terlimpah kepada nabi dan rasul akhir zaman, para
sahabatnya, dan segenap
pengikut setia mereka. Amma
ba’du. Berikut ini adalah sebagian ciri-
ciri dan karakter orang-orang
yang dijanjikan oleh Allah
mendapatkan surga beserta
segala kenikmatan yang ada di
dalamnya, yang sama sekali belum pernah terlihat oleh mata,
belum terdengar oleh telinga,
dan belum terlintas dalam benak
manusia. Semoga Allah
menjadikan kita termasuk di
antara penduduk surga-Nya. 1. Beriman dan beramal
salih Allah ta’ala berfirman, “Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang
beriman dan beramal salih
bahwasanya mereka akan
mendapatkan balasan berupa
surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai…” (Qs. al-Baqarah: 25) Ibnu Abi Zaid al-Qairawani
rahimahullah mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan
amal dengan anggota badan. Ia
bertambah dengan
bertambahnya amalan dan
berkurang dengan berkurangnya
amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia
juga merupakan penyebab
pertambahan -iman-. Tidak
sempurna ucapan iman apabila
tidak disertai dengan amal.
Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi
oleh niat -yang benar-.
Sementara ucapan, amal, dan
niat pun tidak sempurna kecuali
apabila sesuai dengan as-
Sunnah/tuntunan.” (Qathfu al- Jani ad-Dani karya Syaikh Abdul
Muhsin al-Abbad, hal. 47) al-Baghawi rahimahullah
menyebutkan riwayat dari
Utsman bin Affan
radhiyallahu’anhu bahwa yang dimaksud amal salih adalah
mengikhlaskan amal. Maksudnya
adalah bersih dari riya’. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Amal salih adalah yang di dalamnya terdapat
empat unsur: ilmu, niat yang
benar, sabar, dan
ikhlas.” (Ma’alim at-Tanzil [1/73] as-Syamilah) 2. Bertakwa Allah ta’ala berfirman, “Bagi orang-orang yang bertakwa terdapat balasan di
sisi Rabb mereka berupa surga-
surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya, begitu pula mereka
akan mendapatkan istri-istri yang suci serta keridhaan dari
Allah. Allah Maha melihat hamba-
hamba-Nya.” (Qs. Ali Imran: 15) Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
menguraikan jati diri orang
bertakwa. Mereka itu adalah
orang-orang yang bertakwa
kepada Rabb mereka. Mereka
menjaga diri dari siksa-Nya dengan cara melakukan apa saja
yang diperintahkan Allah kepada
mereka dalam rangka menaati-
Nya dan karena mengharapkan
balasan/pahala dari-Nya. Selain
itu, mereka meninggalkan apa saja yang dilarang oleh-Nya juga
demi menaati-Nya serta karena
khawatir akan tertimpa
hukuman-Nya (Majalis Syahri
Ramadhan, hal. 119 cet Dar
al-’Aqidah 1423 H). Termasuk dalam cakupan takwa,
yaitu dengan membenarkan
berbagai berita yang datang dari
Allah dan beribadah kepada Allah
sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan tata cara yang
diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah itu
dituntut di setiap kondisi, di
mana saja dan kapan saja. Maka
hendaknya seorang insan selalu
bertakwa kepada Allah, baik
ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian atau
ketika berada di tengah
keramaian/di hadapan orang
(lihat Fath al-Qawiy al-Matin
karya Syaikh Abdul Muhsin
al-’Abbad hafizhahullah, hal. 68 cet. Dar Ibnu ‘Affan 1424 H) an-Nawawi rahimahullah
menjelaskan, salah satu faktor
pendorong untuk bisa
menumbuhkan ketakwaan
kepada Allah adalah dengan
senantiasa menghadirkan keyakinan bahwasanya Allah
selalu mengawasi gerak-gerik
hamba dalam segala keadaannya
(Syarh al-Arba’in, yang dicetak dalam ad-Durrah as-Salafiyah,
hal. 142 cet Markaz Fajr dan Ulin
Nuha lil Intaj al-I’lami) Syaikh as-Sa’di rahimahullah memaparkan bahwa
keberuntungan manusia itu
sangat bergantung pada
ketakwaannya. Oleh sebab itu
Allah memerintahkan (yang
artinya), “Bertakwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu
beruntung. Dan jagalah dirimu
dari api neraka yang disediakan
bagi orang-orang kafir.” (Qs. Ali Imron: 130-131). Cara menjaga
diri dari api neraka adalah
dengan meninggalkan segala
sesuatu yang menyebabkan
terjerumus ke dalamnya, baik
yang berupa kekafiran maupun kemaksiatan dengan berbagai
macam tingkatannya. Karena
sesungguhnya segala bentuk
kemaksiatan -terutama yang
tergolong dosa besar- akan
menyeret kepada kekafiran, bahkan ia termasuk sifat-sifat
kekafiran yang Allah telah
menjanjikan akan menempatkan
pelakunya di dalam neraka. Oleh
sebab itu, meninggalkan
kemaksiatan akan dapat menyelamatkan dari neraka dan
melindunginya dari kemurkaan
Allah al-Jabbar. Sebaliknya,
berbagai perbuatan baik dan
ketaatan akan menimbulkan
keridhaan ar-Rahman, memasukkan ke dalam surga dan
tercurahnya rahmat bagi mereka
(Taisir al-Karim ar-Rahman
[1/164] cet Jum’iyah Ihya’ at- Turots al-Islami) Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah
mengimbuhkan, bahwa tercakup
dalam ketakwaan -bahkan
merupakan derajat ketakwaan
yang tertinggi- adalah dengan
melakukan berbagai perkara yang disunnahkan (mustahab)
dan meninggalkan berbagai
perkara yang makruh, tentu
saja apabila yang wajib telah
ditunaikan dan haram
ditinggalkan (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-
Hadits 1418 H) Ibnu Rajab rahimahullah
menyebutkan riwayat dari
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Mu’adz ditanya tentang orang-orang
yang bertakwa. Maka beliau
menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari
kemusyrikan, peribadahan
kepada berhala, dan
mengikhlaskan ibadah mereka
hanya untuk Allah.” al-Hasan mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang
yang menjauhi perkara-perkara
yang diharamkan Allah kepada
mereka dan menunaikan
kewajiban yang diperintahkan
kepada mereka.” Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga
menegaskan bahwa ketakwaan
bukanlah menyibukkan diri
dengan perkara yang sunnah
namun melalaikan yang wajib.
Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di
siang hari, sholat malam, dan
menggabungkan antara
keduanya. Akan tetapi hakikat
ketakwaan kepada Allah adalah
meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan
melaksanakan segala yang
diwajibkan Allah. Barang siapa
yang setelah menunaikan hal itu
dikaruni amal kebaikan maka itu
adalah kebaikan di atas kebaikan.” Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan
ketaatan kepada Allah di atas
cahaya dari Allah karena
mengharapkan pahala dari Allah,
serta kamu meninggalkan
kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut
hukuman Allah.” (dinukil dari Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H) Pokok dan akar ketakwaan itu
tertancap di dalam hati. Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata,
“Pada hakikatnya ketakwaan yang sebenarnya itu adalah
ketakwaan dari dalam hati,
bukan semata-mata ketakwaan
anggota tubuh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu dikarenakan barang
siapa yang mengagungkan syi’ar- syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu semua muncul dari ketakwaan
yang ada di dalam hati.” (Qs. al- Hajj: 32). Allah juga berfirman
(yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-
daging dan darah-darah -hewan
kurban itu-, akan tetapi yang
akan sampai kepada Allah adalah
ketakwaan dari kalian.” (Qs. al- Hajj: 37). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketakwaan itu sumbernya di sini.” Seraya beliau mengisyaratkan kepada
dadanya (HR. Muslim dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu).” (al- Fawa’id, hal. 136 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H) Namun, perlu diingat bahwa hal
itu bukan berarti kita boleh
meremehkan amal-amal lahir,
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Petunjuk yang paling sempurna adalah petunjuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, beliau
adalah orang yang telah
menunaikan kedua kewajiban itu
-lahir maupun batin- dengan
sebaik-baiknya. Meskipun beliau
adalah orang yang memiliki kesempurnaan dan tekad serta
keadaan yang begitu dekat
dengan pertolongan Allah, namun
beliau tetap saja menjadi orang
yang senantiasa mengerjakan
sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. Bahkan beliau
juga rajin berpuasa, sampai-
sampai dikatakan oleh orang
bahwa beliau tidak berbuka.
Beliau pun berjihad di jalan Allah.
Beliau pun berinteraksi dengan para sahabatnya dan tidak
menutup diri dari mereka. Beliau
sama sekali tidak pernah
meninggalkan amalan sunnah dan
wirid-wirid di berbagai
kesempatan yang seandainya orang-orang yang perkasa di
antara manusia ini berupaya
untuk melakukannya niscaya
mereka tidak akan sanggup
melakukan seperti yang beliau
lakukan. Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-
hamba-Nya untuk menunaikan
syari’at-syari’at Islam dengan perilaku lahiriyah mereka,
sebagaimana Allah juga
memerintahkan mereka untuk
mewujudkan hakikat-hakikat
keimanan dengan batin mereka.
Salah satu dari keduanya tidak akan diterima, kecuali apabila
disertai dengan ‘teman’ dan pasangannya…” (al-Fawa’id, hal. 137 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H) 3. Taat kepada Allah dan
Rasul-Nya Allah ta’ala berfirman, “Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah
akan memasukkannya ke dalam
surga-surga yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai, mereka
kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang sangat besar.” (Qs. an-Nisa’: 13) Allah ta’ala berfirman tentang mereka, “Sesungguhnya ucapan orang- orang yang beriman itu ketika
diseru untuk patuh kepada Allah
dan rasul-Nya agar rasul itu
memutuskan perkara di antara
mereka maka jawaban mereka
hanyalah, ‘Kami dengar dan kami taati’. Hanya mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (Qs. an-Nur: 51) Allah ta’ala menyatakan, “Barang siapa taat kepada Rasul itu maka sesungguhnya dia telah
taat kepada Allah.” (Qs. An- Nisaa’ : 80) Allah ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul,
ketika menyeru kalian untuk
sesuatu yang akan
menghidupkan kalian. Ketahuilah,
sesungguhnya Allah yang
menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan
sesungguhnya kalian akan
dikumpulkan untuk bertemu
dengan-Nya.” (Qs. al-Anfal: 24) Ketika menjelaskan kandungan
pelajaran dari ayat ini, Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanyalah bisa
digapai dengan memenuhi seruan
Allah dan rasul-Nya. Barang siapa
yang tidak muncul pada dirinya
istijabah/sikap memenuhi dan
mematuhi seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati
padanya. Meskipun sebenarnya
dia masih memiliki kehidupan ala
binatang yang tidak ada
bedanya antara dia dengan
hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu
kehidupan yang hakiki dan baik
adalah kehidupan pada diri orang
yang memenuhi seruan Allah dan
rasul-Nya secara lahir dan batin.
Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun
tubuh mereka telah mati. Adapun
selain mereka adalah orang-
orang yang telah mati, meskipun
badan mereka masih hidup. Oleh
karena itulah maka orang yang paling sempurna kehidupannya
adalah yang paling sempurna di
antara mereka dalam memenuhi
seruan dakwah Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap
ajaran yang beliau dakwahkan
terkandung unsur kehidupan
sejati. Barang siapa yang luput
darinya sebagian darinya maka
itu artinya dia telah kehilangan sebagian unsur kehidupan, dan di
dalam dirinya mungkin masih
terdapat kehidupan sekadar
dengan besarnya istijabahnya
terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-’Aqidah) 4. Cinta dan Benci karena
Allah Allah ta’ala berfirman, “Tidak akan kamu jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah
dan hari akhir berkasih sayang
kepada orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya
meskipun mereka itu adalah
bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara
mereka, maupun sanak keluarga
mereka. Mereka itulah orang-
orang yang ditetapkan Allah di
dalam hati mereka dan Allah
kuatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, Allah akan
memasukkan mereka ke dalam
surga-surga yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai, mereka
kekal di dalamnya. Allah ridha
kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah
golongan Allah, ketahuilah
sesungguhnya hanya golongan
Allah itulah orang-orang yang
beruntung.” (Qs. al-Mujadalah: 22) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mencintai karena Allah. Membenci karena
Allah. Memberi karena Allah. Dan
tidak memberi juga karena Allah.
Maka sungguh dia telah
menyempurnakan imannya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani
dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [10/181] as-Syamilah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman
salah seorang dari kalian sampai
aku lebih dicintainya daripada
orang tua dan anak-
anaknya.” (HR. Bukhari) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ciri keimanan yaitu mencintai kaum Anshar, sedangkan ciri
kemunafikan yaitu membenci
kaum Anshar.” (HR. Bukhari) 5. Berinfak di kala senang
maupun susah Allah ta’ala berfirman, “Bersegeralah menuju ampunan Rabb kalian dan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi
yang disediakan bagi orang-
orang yang bertakwa. Yaitu
orang-orang yang menginfakkan
hartanya di kala senang maupun di kala susah, orang-orang yang
menahan amarah, yang suka
memaafkan orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.
Dan orang-orang yang apabila
melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri
maka mereka pun segera
mengingat Allah lalu meminta
ampunan bagi dosa-dosa mereka,
dan siapakah yang mampu
mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka juga tidak terus
menerus melakukan dosanya
sementara mereka
mengetahuinya.” (Qs. Ali Imron: 133-135) Membelanjakan harta di jalan
Allah merupakan ciri orang-orang
yang bertakwa. Allah ta’ala berfirman, “Alif lam mim. Ini adalah Kitab yang tidak ada keraguan
padanya. Petunjuk bagi orang-
orang yang bertakwa. Yaitu
orang-orang yang beriman
kepada perkara gaib, mendirikan
sholat, dan membelanjakan sebagian harta yang Kami
berikan kepada mereka.” (Qs. al- Baqarah: 1-3) Syaikh as-Sa’di memaparkan, infak yang dimaksud dalam ayat
di atas mencakup berbagai infak
yang hukumnya wajib seperti
zakat, nafkah untuk istri dan
kerabat, budak, dan lain
sebagainya. Demikian juga ia meliputi infak yang hukumnya
sunnah melalui berbagai jalan
kebaikan. Di dalam ayat di atas
Allah menggunakan kata min
yang menunjukkan makna
sebagian, demi menegaskan bahwa yang dituntut oleh Allah
hanyalah sebagian kecil dari
harta mereka, tidak akan
menyulitkan dan memberatkan
bagi mereka. Bahkan dengan
infak itu mereka sendiri akan bisa memetik manfaat, demikian
pula saudara-saudara mereka
yang lain. Di dalam ayat tersebut
Allah juga mengingatkan bahwa
harta yang mereka miliki
merupakan rezki yang dikaruniakan oleh Allah, bukan
hasil dari kekuatan mereka
semata. Oleh sebab itu Allah
memerintahkan mereka untuk
mensyukurinya dengan cara
mengeluarkan sebagian kenikmatan yang diberikan Allah
kepada mereka dan untuk
berbagi rasa dengan saudara-
saudara mereka yang lain (lihat
Taisir al-Karim ar-Rahman [1/30]
cet. Jum’iyah Ihya’ at-Turots al- Islami) 6. Memiliki hati yang
selamat Allah ta’ala berfirman, “Pada hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat lagi harta dan
keturunan, melainkan bagi orang
yang menghadap Allah dengan
hati yang selamat.” (Qs. as- Syu’ara: 88-89) Abu Utsman an-Naisaburi
rahimahullah mengatakan
tentang hakikat hati yang
selamat, “Yaitu hati yang terbebas dari bid’ah dan tenteram dengan
Sunnah.” (disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya [6/48] cet
Maktabah Taufiqiyah) Imam al-Baghawi rahimahullah
mengatakan bahwa hakikat hati
yang selamat itu adalah, “Hati yang bersih dari syirik dan
keragu-raguan. Adapun dosa,
maka tidak ada seorang pun
yang bisa terbebas darinya. Ini
adalah pendapat mayoritas ahli
tafsir.” (Ma’alim at-Tanzil [6/119], lihat juga Tafsir Ibnu Jarir at-
Thabari [19/366] as-Syamilah) Imam al-Alusi rahimahullah juga
menyebutkan bahwa terdapat
riwayat dari para ulama salaf
seperti Ibnu Abbas, Mujahid,
Qatadah, Ibnu Sirin, dan lain-lain
yang menafsirkan bahwa yang dimaksud hati yang selamat
adalah, “Hati yang selamat dari penyakit kekafiran dan
kemunafikan.” (Ruh al-Ma’ani [14/260] as-Syamilah) Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Pengertian paling lengkap tentang makna hati
yang selamat itu adalah hati
yang terselamatkan dari segala
syahwat yang menyelisihi
perintah Allah dan larangan-Nya.
Hati yang bersih dari segala macam syubhat yang
bertentangan dengan berita
dari-Nya. Oleh sebab itu, hati
semacam ini akan terbebas dari
penghambaan kepada selain-Nya.
Dan ia akan terbebas dari tekanan untuk berhukum kepada
selain Rasul-Nya…” (Ighatsat al- Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah) Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati yang selamat artinya yang bersih dari:
kesyirikan, keragu-raguan,
mencintai keburukan, dan terus
menerus dalam bid’ah dan dosa- dosa. Konsekuensi bersihnya hati
itu dari apa-apa yang disebutkan
tadi adalah ia memiliki sifat-sifat
yang berlawanan dengannya.
Berupa keikhlasan, ilmu,
keyakinan, cinta kebaikan dan memandang indah kebaikan itu di
dalam hati, dan juga kehendak
dan kecintaannya pun mengikuti
kecintaan Allah, hawa nafsunya
tunduk mengikuti apa yang
datang dari Allah.” (Taisir al- Karim ar-Rahman hal. 592-593
cet. Mu’assasah ar-Risalah) Ibnul Qayyim rahimahullah juga
menjelaskan karakter si pemilik
hati yang selamat itu, “… apabila dia mencintai maka cintanya
karena Allah. Apabila dia
membenci maka bencinya karena
Allah. Apabila dia memberi maka
juga karena Allah. Apabila dia
mencegah/tidak memberi maka itupun karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar
Thaibah) Demikianlah sekelumit yang bisa
kami tuangkan dalam lembaran
ini. Semoga bermanfaat bagi
yang menulis, membaca maupun
yang menyebarkannya. Wa
shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil
‘alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar